Fenomena Persebaran Bendera Klub di Jalanan Jogja: Sebuah Performativitas Batas
Fenomena Persebaran Bendera Klub di Jalanan Jogja: Sebuah Performativitas Batas – Beberapa kolega saya terheran-heran sekaligus kagum ketika melihat ada banyak sekali bendera yang tersebar di sepanjang jalanan Jogja. Bagi orang yang baru pertama kali ke Jogja, apalagi yang tidak paham dengan kultur sepakbola di daerah istimewa ini pasti akan menunjukkan respons serupa atas apa yang mereka lihat.
Hampir setiap 15 meter di sepanjang jalanan Jogja, baik itu jalan raya maupun jalan setapak di kampung-kampung, dihiasi oleh bendera klub sepakbola lokal, mulai dari ukuran kecil, sedang, sampai yang benar-benar besar, lengkap dengan nama klub maupun komunitas suporternya. Di bagian utara Jogja, atau lebih tepatnya di Kabupaten Sleman, umumnya didominasi oleh bendera klub berwarna Hijau-Putih-Hitam yang merupakan identitas dari klub PS Sleman, sedangkan di bagian selatan, atau lebih tepatnya di wilayah Kota Yogyakarta, banyak didominasi oleh bendera Biru-Putih yang merupakan identitas dari klub PSIM Yogyakarta, jangan lewatkan nonton bola streaming.
Jika kita tarik jauh ke belakang, pemasangan bendera seperti ini seolah sudah menjadi semacam kultur bagi warga Jogja. Bendera partai politik umumnya kerap ditemui terpasang di rumah-rumah warga, tidak hanya saat kampanye pemilihan umum, melainkan dalam kehidupan sehari-hari mereka. Kultur ini kemudian ditiru oleh pendukung klub sepakbola menjadi sebuah gerakan besar berupa pemasangan bendera klub untuk menegaskan identitas kelompok mereka.
Gerakan ini terlihat mulai masif terutama pasca Pemilu 2019. Entah ada korelasinya atau tidak dengan peristiwa politik tersebut, tetapi yang jelas fenomena ini telah memberikan warna tersendiri bagi kehidupan sepakbola di Jogja. Gerakan di media sosial seperti hastag #BirukanDIY adalah salah satu contoh bagaimana kelompok suporter ini mendorong satu sama lain, khususnya sesama anggota kelompok mereka untuk turut serta dalam menegaskan identitas mereka. Dalam eksekusinya, komunitas-komunitas suporter di tiap wilayah lah yang berperan dalam melahirkan karya-karya seni seperti mural maupun pemasangan bendera di tiap sudut wilayah mereka.
Yang menarik sebenarnya dari fenomena pemasangan bendera ini ialah tidak adanya tempat “saklek” di mana mereka harus memasang bendera. Mereka tidak harus menyesuaikan pemasangan bendera PSIM dan PSS dengan batas antara Kota Yogyakarta dan Kabupaten Sleman. Oleh karena itu, keberadaan bendera ini menjadi sebuah fenomena “perbatasan” yang unik. Akan menjadi menarik jika kita melihat fenomena seperti ini melalui kacamata “Politik Perbatasan” dengan menggunakan pendekatan “Border Performativity” atau Performativitas Batas.
Pendekatan ini sebenarnya hadir sebagai respons atas pemahaman akan perbatasan yang terlalu Negara-sentris, yang melihat perbatasan hanya sebagai produk dari kebijakan negara yang bersifat kaku. Menurut Kaiser (2012), untuk memahami perbatasan kita seharusnya menempatkan batas sebagai sesuatu yang terus menerus berproses dan bersifat becoming atau menjadi, alih-alih sebagai sesuatu yang bersifat kaku.
Performativitas–sebagai pendekatan yang menjadikan aspek sosio-kultural sebagai titik tekan dalam memahami perbatasan–kemudian hadir sebagai teori pendukung dalam upaya memahami maksud Kaiser ini. Berdasarkan pemahaman performativitas, praktik-praktik sosio-kultural yang dilakukan secara berulang dan terus-menerus oleh masyarakat, pada akhirnya akan membentuk sebuah sekat identitas antara “kita” dan “mereka”. Oleh karenanya, batas di sini dipahami sebagai hal yang bersifat soft, elastis, tidak seperti hard border yang bersifat kaku berupa pagar, tembok, patok, dan sebagainya. Perbatasan dalam hal ini merupakan sebuah produk kebiasaan, budaya, dan aspek-aspek sosio-kultural lain, yang membentuk identitas masing-masin kelompok.
Meskipun dari segi bahasa dan budaya Yogyakarta dan Sleman memiliki persamaan, tapi dari segi identitas klub sepakbola mereka sangat berbeda. Bukan sekadar berbeda warna dan markas bermain, melainkan mencakup perbedaan identitas ke level grassroot seperti suporter. Praktik-praktik sosio-kultural seperti bagaimana cara mereka bernyanyi, yel-yel apa yang mereka gunakan, pakaian seperti apa yang mereka kenakan saat mendukung klub kebanggaan, menjadi sebuah kebiasaan yang mereka lakukan secara terus menerus sehingga menjadi sebuah identitas, yang dalam pendekatan performativitas dapat menjadi sebuah pemisah atau pembatas di antara kedua kelompok.
Perbedaan identitas klub ini kemudian termanifestasikan dalam bentuk simbol berupa bendera yang dipasang di wilayah mereka masing-masing. Meskipun sama-sama berbentuk fisik, bendera dalam hal ini tidak sama dengan produk-produk hard border seperti patok maupun pagar. Bendera dalam hal ini adalah manifestasi dari dua identitas yang pasti berbeda. Sedangkan dalam hard border, elemen-elemen fisik pembatas pada umumnya hanya memisahkan wilayah, tidak selalu memisahkan identitas yang berbeda. Sebagai contoh, di perbatasan Indonesia-Malaysia, suku Melayu dapat dipisahkan oleh perbatasan Indonesia dan Malaysia meskipun mereka memiliki satu identitas yang sama.
Dalam praktiknya, seperti yang sudah saya sebutkan sebelumnya, pemasangan bendera PS Sleman dan PSIM Yogyakarta di berbagai tempat ini tidak selamanya harus selaras dengan hard border antara Kota Yogyakarta dan Kabupaten Sleman. Penduduk yang tinggal di wilayah Sleman misalnya tak wajib mendukung PSS dan memasang bendera PSS di wilayah Sleman, mereka bisa mendukung PSIM dan memasang bendera PSIM di Kabupaten Sleman, begitupun sebaliknya. Di beberapa tempat, umumnya di daerah perbatasan, bahkan terdapat banyak bendera PSIM yang terpampang nyata di wilayah Sleman. Lebih ekstrem lagi, di beberapa daerah di Bantul juga terdapat cukup banyak bendera PS Sleman berukuran raksasa. Penempatan bendera klub di beberapa tempat yang “lintas batas” ini sejatinya merupakan bukti bahwa border atau batas yang terbangun bersifat elastis. Dia mengikuti eksistensi identitas yang terdapat di suatu wilayah, tak mesti sesuai dengan batas kaku Kota.
Suatu saat nanti, ketika identitas yang dianut oleh salah satu kelompok ini semakin terkikis, semakin menyusut dan hilang pengikutnya, maka kelompok suporter lainnya akan bisa memperluas “area kekuasaan” identitas mereka. Oleh karenanya, jika kita menggunakan kacamata performativity seperti yang diungkapkan di atas, maka batas sejatinya adalah suatu produk kebiasaan yang senantiasa bersifat “becoming” atau menjadi, dan persebaran bendera klub PSS dan PSIM di jalanan Jogja adalah salah satu fenomena yang dapat menjelaskannya.